Search This Blog

Sunday, December 27, 2009

Maaanggaa...Serabi Oncom dari Cigugur...

SIAPA yang tak tahu makanan serabi? Makanan ini bisa dibilang terdapat hampir terdapat di seluruh Nusantara. Serabi, makanan dari tepung beras (ada juga yang dari tepung terigu) dengan rasa manis atau asin, tergantung selera. Masyarakat di Jawa Tengah biasa menyebutnya dengan 'serabi'. Tapi, masyarakat Jawa Barat menamakan makanan yang ueenak itu dengan 'surabi'. Hanya beda sebutan, tapi rasanya tetap sama : ENAK, khas makanan tradisional Indonesia.

Nah, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, punya surabi dengan rasa dan racikan yang lebih kreatif. Surabi oncom!

Oncom memang merupakan makanan khas Jawa Barat. Bagaimana jika diracik menjadi surabi? Meski tak merasakan, mungkin gambaran rasa yang saya gambarkan akan membuat Anda penasaran...

Perayaan Seren Taun 2008 di Cigugur dimanfaatkan masyarakat setempat untuk mengenalkan makanan khas mereka. Di Kompleks Paseban yang merupakan bangunan cagar budaya di kecamatan yang terletak di kaki Gunung Ciremai itu, ibu-ibu menjajakan surabi. Kegiatan ini menjadi agenda tahunan setiap perayaan Seren Taun yang digelar selama 6 hari.



Enam buah tungku disiapkan berikut jajambaran-nya (semacam kuali kecil dari tanah liat, khusus untuk memasak serabi). Rasa yang ditawarkan ada 3 pilihan : manis, asin, dan surabi oncom yang ada sedikit rasa pedasnya. Bisa pilih sesuai selera.

Surabi oncom, bahan pembuatan surabi-nya berupa adonan tepung beras dan kelapa parut. "Supaya kental, ditambah sedikit tepung terigu dan tepung kanji," kata Ella, bidan desa yang mengambil cuti 7 hari demi mengenalkan makanan khas daerahnya pada pengunjung Seren Taun.

Oncom yang telah diorek dibubuhkan setengah sendok makan ke dalam satu sendok sayur adonan yang telah dimasak di jajambaran. Rasanya? Hmmm...yummy! Rasa gurih surabi yang ada adonan kelapanya sangat pas bercampur dengan orek oncom yang sedikit pedas.

Ternyata, adonan surabi oncom ini memang sengaja diracik agar perpaduan rasanya pas dan tak terkesan hanya menambahkan oncom sebab ibu-ibu Cigugur ini membuat adonan yang berbeda untuk surabi dengan rasa manis dan asin. Surabi manis, campuran adonannya terdiri dari tepung terigu, mentega, telur, dan gula, sedangkan surabi asin, adonannya dibuat dengan campuran tepung beras, tepung terigu, dan santan kelapa.



Harga yang dijual relatif murah untuk ukuran perayaan ritual budaya yang sudah menjadi agenda nasional. Surabi oncom dan asin hanya dijual dengan harga Rp 1.000 rupiah per buah. Sementara itu, surabi manis agak lebih mahal, Rp 2.000. Namun, alasan berbedanya harga cukup beralasan karena harga mentega, gula, dan telur yang memang lagi mahal-mahalnya. So, silakan mencoba jika berkunjung ke Cigugur atau ke kota lain di Jawa Barat, burulah surabi oncom!!

Mereka yang Terpinggirkan dari Arena PRJ

Bagi masyarakat Jakarta, mengunjungi Pekan Raya Jakarta (PRJ) setiap tahunnya pasti sudah menjadi agenda rutin. Sebuah perhelatan yang konon katanya adalah Pesta Rakyat. Masih cocokkah sebutan itu?

Dari tahun ke tahun, banyak perubahan signifikan yang kita rasakan. Perubahan baiknya, memasuki arena PRJ terasa lebih nyaman karena tata letak stand-stand yang mengadakan pameran lebih rapi. Tapi, mari kita perhatikan. Awal tahun 2000-an, kita masih menjumpai pedagang makanan tradisional tersebar di segala sudut arena PRJ. Sebut saja, penjual kue pancung, kerak telor dan jenis makanan rakyat lainnya. Tapi kini?



Bicara soal kerak telor, makanan khas Betawi ini memang tak bisa dilepaskan dari sebuah perayaan bernama PRJ. Sekarang, masih kan kita temui? Masih ada. Segelintir di dalam area PRJ, tapi puluhan lainnya hanya bisa berdagang di sepanjang jalan Angkasa, tepat di luar area PRJ. Selebihnya, stand-stand makanan cepat saji 'impor'.

Apa curahan hati para pedagang kerak telor yang merasa dianaktirikan dan merasa terpinggirkan? Adul (42), adalah satu dari puluhan pedagang yang merasa terpinggirkan. Menurut dia, mahalnya biaya sewa kios membuatnya harus mengurut dada untuk kelima kalinya. Maklum saja, terakhir kali Adul mampu mengikuti PRJ di dalam area pada tahun 2003.

"Setelah itu, dari tahun 2004 sampai sekarang, nggak pernah lagi. Lah, gimana lagi, sewa kiosnya sampe 20 juta. Mana saya mampu? Dulu sih, sewanya masih perorangan, nggak terlalu tinggi bayarannya. Paling tinggi 500 ribu perorang. Tahun 2004, di pinggir jalan terus," kisah Adul, saat dijumpai tengah berdagang di luar area PRJ.

Berjualan di luar, tepatnya di pinggir jalan pun, bukan berarti gratis. Kata Adul, beberapa di antara mereka masih saja ditarik biaya sebesar Rp210 ribu. "Tapi temen-temen yang nekat dengan modal sih, ada juga yang ikut di dalem. Patungan berapa orang, nanti jualannya giliran. Kalo saya mah, kagak. Mending uang buat nyewanya disimpen untuk sekolah anak. Rezeki kagak ke mana lah," kata dia lagi.

Praktis, pemasukan pun minim. Selain banyak saingan, lalu lintas kendaraan yang demikian cepat di sepanjang kawasan Kemayoran, menjadikan para pengguna jalan kadang enggan untuk menghentikan kendaraannya. "Bawa telor dua kilo aja kagak abis. Dibawa pulang sekitar 100 ribu. Kadang nombok, buat modal besoknya lagi," ujar Adul.

Harga jual kerak telor, dengan telur ayam Rp10 ribu, dengan telur bebek Rp12 ribu. Saat diberikan kesempatan menyampaikan uneg-uneg kepada Pemda DKI Jakarta, khususnya penyelenggara PRJ, Adul berkata panjang lebar, "Mau saya ye, boleh lah sewa di dalam perorangan. Tapi jangan terlalu tinggi. Paling nggak satu juta. Ada pilihan-pilihan, tergantung kemampuan pedagang. Kasih tempat yang rapi. Jangan kaya sekarang, sistem kios. Sewanya 15 sampe 20 juta. Rakyat kecil mana mampu? Kalo dulu, kerak telor dicari buat menuhin PRJ, buat ciri khas. Kenapa sekarang dipinggirkan? Kenapa anak sendiri ditaruh di luar, anak tiri di dalem. Yang banyak di dalem kan dari luar Jakarta, mbak. Jadinya bukan pesta rakyat, tapi pesta bisnis. Rakyat kecil kagak bisa nikmatin," ujarnya.

Selama perayaan PRJ, Adul mangkal di kawasan jalan Angkasa. Biasanya, ia berjualan di Pancoran, Glodok, Jakarta Barat. Meski penghasilan tak seberapa, Adul bersyukur, kadang masih ada yang memanggilnya untuk menyediakan kerak telor di pesta pernikahan. "Nitip promosiin ya mbak. Kalo mau manggil saya bisa telepon di 70742155, nanti pikulannya beda, udah dihias jadi lebih bagus, lebih pantes," pinta Adul, rakyat kecil yang merasa terpinggirkan dari sebuah pesta rakyat.



 *** Tulisan ini dimuat di Kompas.com 18 Juni 2008 ***


Eittss...Jangan Buang Botolnya...

Entahlah apakah ini cerita menarik atau tidak. Bagi saya, seminggu di Kopenhagen, menemukan banyak hal-hal kecil yang menarik perhatian. Cerita ini salah satunya. Semoga juga menarik bagi Anda. Berawal dari obrolan kecil dengan seorang teman asal China, Hap, yang mengingatkan saya agar tak membuang botol bekas air mineral yang dilihatnya sudah kosong di tangan saya. Kenapa? Hap mengatakan, botol bekas minuman itu bisa jadi uang. Tak banyak yang bisa diberitahukan Hap, karena ia pun belum mencobanya.

Inilah tanda di botol yang bisa ditukarkan menjadi uang di mesin khusus (foto : Inggried/KOMPAS.com)

Dari seorang teman yang menetap di Kopenhagen, Winda dan Al, saya mendapat jawabnya. Dalam setiap botol atau kaleng minuman, terdapat tanda panah memutar (simbol recycle) dengan tulisan tiga macam yaitu “Pant A”, “Pant B” dan “Pant C”. Masing-masing memiliki nilai berbeda. Saya pun mencoba membuktikannya di salah satu super market terkemuka di Denmark. Sebagai informasi, kebijakan ini berlaku di 3 super market yang merupakan waralaba original Denmark. Konon, ketentuan ini berlaku di negara skandinavia. Menurut dua sahabat saya ini, uang yang didapatkan dari mengembalikan botol ini sebenarnya menyerahkan kembali uang yang dibayarkan konsumen saat membeli minuman tersebut. Di Denmark, harga minuman belum termasuk harga botol. Maka, total harga jual pasti ditambahkan harga yang dikenakan khusus untuk bitilnya. Hmmm...jadi rugi kalau membuang botol itu begitu saja!


Botolnya dimasukkan ke mesin yang ada di supermarket tertentu... (foto : Inggried/KOMPAS.com)

Cara menukar botol bekas dengan “uang” , pertama memasukkannya ke sebuah mesin yang tersedia. Botol akan masuk dengan sendirinya mengikuti alur yang ada dan terkesan disedot ke dalam mesin. Tak lama kemudian akan muncul angka “harga” botol bekas itu. Selanjutnya, kita akan menerima struk yang bisa ditukarkan dengan uang atau langsung dijadikan alat belanja. Untuk botol atau kaleng dengan tanda “Pant A” dihargai 1 kroner, “Pant B” 1,5 kroner dan “Pant C” 2 kroner. Penerapan peraturan ini salah satunya untuk mengurangi limbah plastik dari botol minuman yang merupakan salah satu sampah yang susah didaur ulang. Dengan cara ini, maka produsen dapat kembali memanfaatkan botol tersebut.
Musim panas jadi lahan pekerjaan pemulung

Sayangnya, saya mengunjungi Kopenhagen saat musim dingin. Jika di musim semi, pasti akan melihat fenomena “botol tukar uang” ini. Katanya, di musim semi peraturan ini memberi banyak rezeki bagi para pemulung atau miskin kota. Biasanya para pemulung akan berkeliling kota untuk mengumpulkan botol bekas. Di musim semi, konsumsi minuman kaleng dan botol minuman pasti tinggi. Bahkan, ada pemulung yang bisa mengumpulkannya dalam jumlah besar.
“Biasanya mereka datang ke super market sambil bawa karung isi botol atau kaleng bekas. Lumayan lo, katanya bisa dapat 200-300 kroner,” kata Winda.
Oya, tak hanya botol yang ada harganya di Kopenhagen atau mungkin di beberapa kota di Eropa. Untuk plastik belanjaan, kita juga tak bisa mendapatkannya dengan gratis. Di Kopenhagen, konsumen harus membayar 2-5 kroner untuk sebuah kantong plastik, tergantung ukurannya. Maka tak heran, sebagian besar konsumen membawa tas atau plastik belanja sendiri daripada mengeluarkan uang untuk satu kantong plastik.

Hmmm, membayangkan mungkinkah diterapkan di Indonesia? Kebijakan beberapa swalayan untuk mengajak konsumen lebih ramah lingkungan dengan menyediakan kantong plastik “satu untuk selamanya” yang didesain menarik pun tampaknya belum membuahkan hasil.  Mungkin perlu dukungan kita semua? Jadi teringat kata-kata “plastic bag is rubbish”...(ING)