Search This Blog

Saturday, December 26, 2009

Cerita "Cykling" di Negeri Hans Christian Andersen (1)

Cerita “Little Mermaid” karangan Hans Christian Andersen telah menjadi ikon salah satu negara dari rumpun Skandinavia, Denmark. Kini, Denmark punya ikon dan cerita baru. Cerita tentang “cykling” (bersepeda) yang bisa dijumpai di segala penjuru kota. Cerita “cykling” kali ini hadir dari Kopenhagen. Pilihan bertransportasi yang sudah membudaya di ibukota negara berpenduduk sekitar 5 juta jiwa itu...





Siapa saja yang pernah mengunjungi kota di Eropa, pasti sudah biasa menemukan fenomena bersepeda, sebagai salah satu pilihan transportasi yang sudah membudaya. Termasuk di Kopenhagen, Denmark. Dalam sebuah penelitian tahun 2007, Kopenhagen masuk dalam jajaran 11 kota sepeda terbaik di dunia. Kota ini menduduki peringkat ketiga dibawah Amsterdam (Belanda) dan Portland, Oregon (Amerika Serikat). Menurut seorang arsitek, Jan Gehl, Denmark memang mengalami perkembangan dan perubahan kultur yang sangat signifikan dalam berkendara. Keinginan pemerintah mengajak masyarakatnya beralih ke transportasi umum dan ramah lingkungan membuahkan hasil. Salah satu hal yang  mendukung keberhasilan tersebut adalah kesiapan infrastruktur yang membuat masyarakat merasa aman dan nyaman.
Menilik sejarah persepedaan di Denmark, ternyata punya latar belakang cerita yang cukup menarik. Dari riset kecil-kecilan, saya menemukan informasi bahwa dalam 1,5 abad, budaya bersepeda di Denmark terus mengalami perkembangan dan semakin populer di kalangan masyarakat. Pada tahun 1890, ada sekitar 3000 sepeda di Kopenhagen (www.cycling-embassy.dk). Jumlah ini meningkat pada tahun 1900 menjadi 30.000 sepeda. Tujuh tahun kemudian menjadi 80.000 dan terus meningkat hingga 400.000 sepeda di Kopenhagen pada tahun 1934.
Federasi Sepeda Denmark yang dibentuk pada tahun 1905 merupakan organisasi sepeda tertua di Eropa dengan tujuan utama membuat pengambil kebijakan memberikan kondisi yang lebih baik bagi para pengguna sepeda. Tidak sampai 5 tahun, sudah ada peraturan yang diperkenalkan di kepolisian Kopenhagen. Pada tahun 1923, aturan mengenai Aturan Berkendara disetujui di parlemen. Pada tahun 1920-1930an, sepeda dan trem mendominasi jalanan di sejumlah kota besar dan semakin berkembang. Pada saat yang bersamaan, sepeda menjadi semakin populer dan menjadi alat transportasi yang diminati.
Selama masa pendudukan Jerman atas Denmark pada tahun 1940-1945, terbatasnya ketersediaan bahan bakar membuat sepeda menjadi alat transportasi yang paling diandalkan. Hal ini terus berlanjut sampai pertengahan tahun 1950-an, ketika akhirnya pengguna mobil mengalami pertumbuhan pesat. Peningkatan penggunaan mobil membuat berkurangnya pengguna sepeda secara signifikan hingga pertengahan tahun 1970. Kendati pengguna sepeda berkurang, sepertiga dari orang dewasa pada masa itu masih bertahan menggunakan kendaraan tenaga angin itu secara teratur.
Krisis energi pada tahun 1970-an dan meningkatnya kepedulian pada lingkungan menjadi faktor utama adanya transformasi transportasi dari mobil ke sepeda dan transportasi publik. Didukung pula dengan adanya peningkatan fasilitas dan infrastruktur bagi para pengguna sepeda. Dari tahun 1982 hingga 2001, anggaran negara dialokasikan untuk mendanai pembangunan jalur dan infrastruktur sepeda bagi para penggunanya. Konsentrasi pendanaan untuk pos persepedaan ini mulai berkurang setelah tahun 2001.

Saat menyampaikan sambutan pada pembukaan konferensi perubahan iklim, 7 Desember 2009, Gubernur Kopenhagen, Ritt Bjerregard memasukkan unsur “cykling” sebagai salah satu upaya pemerintahannya menekan emisi 20 persen seperti yang ditargetkan untuk rentang waktu 2005-2015. Mengajak warga bersepeda diyakini bisa mengurangi angka emisi dari sektor transportasi. Ritt menyebutkan, 50 persen warga Kopenhagen telah beralih menggunakan sepeda sebagai pilihan utama bertransportasi. Bahkan, dalam pamflet promosi yang menyambut peserta COP15 disebutkan, diantara empat warga Kopenhagen, hanya satu yang memiliki mpbil. Apa yang diungkapkan Ritt, langsung bisa dijumpai kala kita berkeliling Kota Kopenhagen. Tak hanya di jalanan tetapi juga di dalam kereta api. Ia pun menargetkan, Kopenhagen menjadi ibukota negara pertama yang berpredikat “neutral carbon city” pada tahun 2015.

Pengendara Sepeda bak “Raja”

Di jalanan Kopenhagen, banyak dijumpai berbagai papan petunjuk bergambar sepeda. Entah itu menunjukkan jalur khusus sepeda, tempat parkir sepeda, tempat penitipan sepeda dan berbagai simbol lain yang memudahkan para pengguna sepeda. Berbagai kemudahan ini, mungkin bisa menjadi pertanda bahwa para pengguna sepeda menjadi “raja” di kota ini. Di tengah jalanan yang berukuran cukup besar, disisi kanan jalan masing-masing arah, terdapat jalur khusus sepeda. Di beberapa kawasan, jalur khusus sepeda dicat berwarna khusus. Seperti di kawasan Parliament Square, jalur khusus sepeda dicat berwarna biru. Di ujung jalan, biasanya dibuat gambar sepeda berukuran cukup besar. Maka, jangan takut disalip mobil kala bersepeda di kota ini.
Traffic light  bagi pengguna sepeda juga dipisahkan dengan lampu lalu lintas bagi pengendara mobil dan bus. Ada traffic light khusus yang bergambar sepeda di lampu paling atas, kemudian diikuti lampu hijau, kuning dan merah.
Parkir khusus sepeda juga merajai. Di setiap sisi jalan bagi pedestrian, pasti ada tempat parkir sepeda. Dan bisa dibilang, area parkir sepeda lebih penuh dibandingkan mobil yang parkir di pinggir jalan. Pemerintah setempat juga merancang berbagai macam kreasi parkir sepeda. Menarik untuk dicermati. Ada tempat khusus yang menjadi ruang bagi ban sepeda depan. Tujuannya, agar sepeda terparkir dengan rapi dan menghindari sepeda berjatuhan jika tersenggol satu sama lain. Pemandangan deretan sepeda yang terparkir pun menjadi salah satu objek yang menarik dan khas dari Kopenhagen.
Bagi para pengguna yang mengayuh sepedanya hanya sampai di stasiun, tak masalah. Di setiap stasiun kereta api, kita akan menjumpai tempat menyimpan sepeda yang disusun bertingkat. Saya sendiri tak terbayang, bagaimana menaikkan sepeda-sepeda itu atas dan menyusunnya secara rapi. Menurut informasi, penitipan sepeda itu gratis. Pastikan saja sepeda aman terkunci saat dititipkan. Tempat penitipan juga ada dua macam. Ada yang didalam dan diluar stasiun. Di luar stasiun, biasanya tepat di pelataran yang tak jauh di pintu keluar. Sedangkan yang didalam stasiun, biasanya ada tanda gambar sepeda yang dipasang di bagian pintu besinya. Letak ruangan ini berbeda di setiap stasiunnya. Sebagai gambaran, kereta api di Kopenhagen, khususnya S-Tog, terdapat di bawah tanah sehingga stasiun selalu terdiri dari beberapa lantai. Ruang penyimpanan sepeda, terdapat di lantai dua atau tiga. Tetapi, jangan khawatir bagaimana membawanya ke lantai atas. Di tangga pun tersedia jalur khusus yang memudahkan pemilik membawa atau menenteng sepedanya. Tak sedikit pula yang terlihat santai membawa sepedanya naik dengan menggunakan eskalator.
Tak sedikit pula yang membawa sepedanya naik ke atas kereta api. Jangan salah, di dalam kereta api pun, ada barisan kursi yang disediakan khusus untuk “memarkir” sepeda. Biasanya, di bagian bawah kursi ada semacam bahan dari karet yang dibuat berjarak hingga cukup untuk memasukkan ban sepeda dan tak menyebabkannya jatuh karena goncangan sepanjang jalan. Sang pemilik? Mereka bisa santai membaca buku hingga kereta mengantarkan ke stasiun tujuan, kemudian turun, menenteng sepeda dan gowes lagi!
Nah, ada banyak cerita menarik beberapa warga Kopenhagen tentang pilihannya menggunakan sepeda...
(bersambung)
http://travel.kompas.com/read/xml/2009/12/24/06120319/bersepeda.di.negeri.hans.christian.andersen.1

No comments:

Post a Comment