Search This Blog

Sunday, December 27, 2009

Maaanggaa...Serabi Oncom dari Cigugur...

SIAPA yang tak tahu makanan serabi? Makanan ini bisa dibilang terdapat hampir terdapat di seluruh Nusantara. Serabi, makanan dari tepung beras (ada juga yang dari tepung terigu) dengan rasa manis atau asin, tergantung selera. Masyarakat di Jawa Tengah biasa menyebutnya dengan 'serabi'. Tapi, masyarakat Jawa Barat menamakan makanan yang ueenak itu dengan 'surabi'. Hanya beda sebutan, tapi rasanya tetap sama : ENAK, khas makanan tradisional Indonesia.

Nah, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, punya surabi dengan rasa dan racikan yang lebih kreatif. Surabi oncom!

Oncom memang merupakan makanan khas Jawa Barat. Bagaimana jika diracik menjadi surabi? Meski tak merasakan, mungkin gambaran rasa yang saya gambarkan akan membuat Anda penasaran...

Perayaan Seren Taun 2008 di Cigugur dimanfaatkan masyarakat setempat untuk mengenalkan makanan khas mereka. Di Kompleks Paseban yang merupakan bangunan cagar budaya di kecamatan yang terletak di kaki Gunung Ciremai itu, ibu-ibu menjajakan surabi. Kegiatan ini menjadi agenda tahunan setiap perayaan Seren Taun yang digelar selama 6 hari.



Enam buah tungku disiapkan berikut jajambaran-nya (semacam kuali kecil dari tanah liat, khusus untuk memasak serabi). Rasa yang ditawarkan ada 3 pilihan : manis, asin, dan surabi oncom yang ada sedikit rasa pedasnya. Bisa pilih sesuai selera.

Surabi oncom, bahan pembuatan surabi-nya berupa adonan tepung beras dan kelapa parut. "Supaya kental, ditambah sedikit tepung terigu dan tepung kanji," kata Ella, bidan desa yang mengambil cuti 7 hari demi mengenalkan makanan khas daerahnya pada pengunjung Seren Taun.

Oncom yang telah diorek dibubuhkan setengah sendok makan ke dalam satu sendok sayur adonan yang telah dimasak di jajambaran. Rasanya? Hmmm...yummy! Rasa gurih surabi yang ada adonan kelapanya sangat pas bercampur dengan orek oncom yang sedikit pedas.

Ternyata, adonan surabi oncom ini memang sengaja diracik agar perpaduan rasanya pas dan tak terkesan hanya menambahkan oncom sebab ibu-ibu Cigugur ini membuat adonan yang berbeda untuk surabi dengan rasa manis dan asin. Surabi manis, campuran adonannya terdiri dari tepung terigu, mentega, telur, dan gula, sedangkan surabi asin, adonannya dibuat dengan campuran tepung beras, tepung terigu, dan santan kelapa.



Harga yang dijual relatif murah untuk ukuran perayaan ritual budaya yang sudah menjadi agenda nasional. Surabi oncom dan asin hanya dijual dengan harga Rp 1.000 rupiah per buah. Sementara itu, surabi manis agak lebih mahal, Rp 2.000. Namun, alasan berbedanya harga cukup beralasan karena harga mentega, gula, dan telur yang memang lagi mahal-mahalnya. So, silakan mencoba jika berkunjung ke Cigugur atau ke kota lain di Jawa Barat, burulah surabi oncom!!

Mereka yang Terpinggirkan dari Arena PRJ

Bagi masyarakat Jakarta, mengunjungi Pekan Raya Jakarta (PRJ) setiap tahunnya pasti sudah menjadi agenda rutin. Sebuah perhelatan yang konon katanya adalah Pesta Rakyat. Masih cocokkah sebutan itu?

Dari tahun ke tahun, banyak perubahan signifikan yang kita rasakan. Perubahan baiknya, memasuki arena PRJ terasa lebih nyaman karena tata letak stand-stand yang mengadakan pameran lebih rapi. Tapi, mari kita perhatikan. Awal tahun 2000-an, kita masih menjumpai pedagang makanan tradisional tersebar di segala sudut arena PRJ. Sebut saja, penjual kue pancung, kerak telor dan jenis makanan rakyat lainnya. Tapi kini?



Bicara soal kerak telor, makanan khas Betawi ini memang tak bisa dilepaskan dari sebuah perayaan bernama PRJ. Sekarang, masih kan kita temui? Masih ada. Segelintir di dalam area PRJ, tapi puluhan lainnya hanya bisa berdagang di sepanjang jalan Angkasa, tepat di luar area PRJ. Selebihnya, stand-stand makanan cepat saji 'impor'.

Apa curahan hati para pedagang kerak telor yang merasa dianaktirikan dan merasa terpinggirkan? Adul (42), adalah satu dari puluhan pedagang yang merasa terpinggirkan. Menurut dia, mahalnya biaya sewa kios membuatnya harus mengurut dada untuk kelima kalinya. Maklum saja, terakhir kali Adul mampu mengikuti PRJ di dalam area pada tahun 2003.

"Setelah itu, dari tahun 2004 sampai sekarang, nggak pernah lagi. Lah, gimana lagi, sewa kiosnya sampe 20 juta. Mana saya mampu? Dulu sih, sewanya masih perorangan, nggak terlalu tinggi bayarannya. Paling tinggi 500 ribu perorang. Tahun 2004, di pinggir jalan terus," kisah Adul, saat dijumpai tengah berdagang di luar area PRJ.

Berjualan di luar, tepatnya di pinggir jalan pun, bukan berarti gratis. Kata Adul, beberapa di antara mereka masih saja ditarik biaya sebesar Rp210 ribu. "Tapi temen-temen yang nekat dengan modal sih, ada juga yang ikut di dalem. Patungan berapa orang, nanti jualannya giliran. Kalo saya mah, kagak. Mending uang buat nyewanya disimpen untuk sekolah anak. Rezeki kagak ke mana lah," kata dia lagi.

Praktis, pemasukan pun minim. Selain banyak saingan, lalu lintas kendaraan yang demikian cepat di sepanjang kawasan Kemayoran, menjadikan para pengguna jalan kadang enggan untuk menghentikan kendaraannya. "Bawa telor dua kilo aja kagak abis. Dibawa pulang sekitar 100 ribu. Kadang nombok, buat modal besoknya lagi," ujar Adul.

Harga jual kerak telor, dengan telur ayam Rp10 ribu, dengan telur bebek Rp12 ribu. Saat diberikan kesempatan menyampaikan uneg-uneg kepada Pemda DKI Jakarta, khususnya penyelenggara PRJ, Adul berkata panjang lebar, "Mau saya ye, boleh lah sewa di dalam perorangan. Tapi jangan terlalu tinggi. Paling nggak satu juta. Ada pilihan-pilihan, tergantung kemampuan pedagang. Kasih tempat yang rapi. Jangan kaya sekarang, sistem kios. Sewanya 15 sampe 20 juta. Rakyat kecil mana mampu? Kalo dulu, kerak telor dicari buat menuhin PRJ, buat ciri khas. Kenapa sekarang dipinggirkan? Kenapa anak sendiri ditaruh di luar, anak tiri di dalem. Yang banyak di dalem kan dari luar Jakarta, mbak. Jadinya bukan pesta rakyat, tapi pesta bisnis. Rakyat kecil kagak bisa nikmatin," ujarnya.

Selama perayaan PRJ, Adul mangkal di kawasan jalan Angkasa. Biasanya, ia berjualan di Pancoran, Glodok, Jakarta Barat. Meski penghasilan tak seberapa, Adul bersyukur, kadang masih ada yang memanggilnya untuk menyediakan kerak telor di pesta pernikahan. "Nitip promosiin ya mbak. Kalo mau manggil saya bisa telepon di 70742155, nanti pikulannya beda, udah dihias jadi lebih bagus, lebih pantes," pinta Adul, rakyat kecil yang merasa terpinggirkan dari sebuah pesta rakyat.



 *** Tulisan ini dimuat di Kompas.com 18 Juni 2008 ***


Eittss...Jangan Buang Botolnya...

Entahlah apakah ini cerita menarik atau tidak. Bagi saya, seminggu di Kopenhagen, menemukan banyak hal-hal kecil yang menarik perhatian. Cerita ini salah satunya. Semoga juga menarik bagi Anda. Berawal dari obrolan kecil dengan seorang teman asal China, Hap, yang mengingatkan saya agar tak membuang botol bekas air mineral yang dilihatnya sudah kosong di tangan saya. Kenapa? Hap mengatakan, botol bekas minuman itu bisa jadi uang. Tak banyak yang bisa diberitahukan Hap, karena ia pun belum mencobanya.

Inilah tanda di botol yang bisa ditukarkan menjadi uang di mesin khusus (foto : Inggried/KOMPAS.com)

Dari seorang teman yang menetap di Kopenhagen, Winda dan Al, saya mendapat jawabnya. Dalam setiap botol atau kaleng minuman, terdapat tanda panah memutar (simbol recycle) dengan tulisan tiga macam yaitu “Pant A”, “Pant B” dan “Pant C”. Masing-masing memiliki nilai berbeda. Saya pun mencoba membuktikannya di salah satu super market terkemuka di Denmark. Sebagai informasi, kebijakan ini berlaku di 3 super market yang merupakan waralaba original Denmark. Konon, ketentuan ini berlaku di negara skandinavia. Menurut dua sahabat saya ini, uang yang didapatkan dari mengembalikan botol ini sebenarnya menyerahkan kembali uang yang dibayarkan konsumen saat membeli minuman tersebut. Di Denmark, harga minuman belum termasuk harga botol. Maka, total harga jual pasti ditambahkan harga yang dikenakan khusus untuk bitilnya. Hmmm...jadi rugi kalau membuang botol itu begitu saja!


Botolnya dimasukkan ke mesin yang ada di supermarket tertentu... (foto : Inggried/KOMPAS.com)

Cara menukar botol bekas dengan “uang” , pertama memasukkannya ke sebuah mesin yang tersedia. Botol akan masuk dengan sendirinya mengikuti alur yang ada dan terkesan disedot ke dalam mesin. Tak lama kemudian akan muncul angka “harga” botol bekas itu. Selanjutnya, kita akan menerima struk yang bisa ditukarkan dengan uang atau langsung dijadikan alat belanja. Untuk botol atau kaleng dengan tanda “Pant A” dihargai 1 kroner, “Pant B” 1,5 kroner dan “Pant C” 2 kroner. Penerapan peraturan ini salah satunya untuk mengurangi limbah plastik dari botol minuman yang merupakan salah satu sampah yang susah didaur ulang. Dengan cara ini, maka produsen dapat kembali memanfaatkan botol tersebut.
Musim panas jadi lahan pekerjaan pemulung

Sayangnya, saya mengunjungi Kopenhagen saat musim dingin. Jika di musim semi, pasti akan melihat fenomena “botol tukar uang” ini. Katanya, di musim semi peraturan ini memberi banyak rezeki bagi para pemulung atau miskin kota. Biasanya para pemulung akan berkeliling kota untuk mengumpulkan botol bekas. Di musim semi, konsumsi minuman kaleng dan botol minuman pasti tinggi. Bahkan, ada pemulung yang bisa mengumpulkannya dalam jumlah besar.
“Biasanya mereka datang ke super market sambil bawa karung isi botol atau kaleng bekas. Lumayan lo, katanya bisa dapat 200-300 kroner,” kata Winda.
Oya, tak hanya botol yang ada harganya di Kopenhagen atau mungkin di beberapa kota di Eropa. Untuk plastik belanjaan, kita juga tak bisa mendapatkannya dengan gratis. Di Kopenhagen, konsumen harus membayar 2-5 kroner untuk sebuah kantong plastik, tergantung ukurannya. Maka tak heran, sebagian besar konsumen membawa tas atau plastik belanja sendiri daripada mengeluarkan uang untuk satu kantong plastik.

Hmmm, membayangkan mungkinkah diterapkan di Indonesia? Kebijakan beberapa swalayan untuk mengajak konsumen lebih ramah lingkungan dengan menyediakan kantong plastik “satu untuk selamanya” yang didesain menarik pun tampaknya belum membuahkan hasil.  Mungkin perlu dukungan kita semua? Jadi teringat kata-kata “plastic bag is rubbish”...(ING)





Saturday, December 26, 2009

Cerita “Cykling” di Negeri Hans Christian Andersen (2)

Tak ada data pasti berapa jumlah sepeda yang “wira-wiri” di jalanan Kota Kopenhagen setiap harinya. Namun, sebuah alat penghitung yang ada di Jalan Frederiksborg, kawasan Norreport, Kopenhagen, mungkin bisa menjadi acuan. Menurut seorang teman, kawasan ini merupakan kawasan strategis yang selalu dilintasi. Itulah salah satualasan mengapa alat itu dipasang di kawasan ini. Saya sempat melihat bagaimana alat tersebut bekerja. Alat itu ditempatkan di salah satu sisi jalan. Setiap satu sepeda melintas, maka angka yang ada di alat tersebut akan berubah dengan sendirinya. Ketika saya berada disana pukul 12.00, sepeda yang melintas sejak pergantian hari sudah lebih dari 2000 sepeda. Ini jumlah yang terbilang tak terlalu banyak, karena pada musim dingin jumlah pengendara sepeda biasanya memang menurun dan beralih menggunakan bus kota atau kereta api. Jika musim semi, jumlah pengendara sepeda bisa tiga kali lipat banyaknya. Bisa mencapai jutaan sepeda yang melintas. Berdasarkan data yang ada di alat penghitung itu, sejak 15 Juni 2009 hingga 13 Desember 2009 (pukul 12.00), pengguna sepeda yang melintas tercatat 2.195.497 orang.


Mesin penghitung sepeda di Frederiksborg, Kopenhagen (foto : Inggried/Kompas.com)
Meski infrastruktur sudah memadai, pemerintah Denmark masih terus berupaya menggenjot anggaran demi peningkatan fasilitas bersepeda. Tujuannya, meningkatkan jumlah pengguna sepeda dari hari ke hari. Untuk itu, pemerintah Denmark sudah merencanakan anggaran sebesar 2 miliar Kroner pada tahun 2010 untuk peningkatan tersebut. Peremajaan dan memperbaiki fasilitas diyakini akan mempersuasi warga memilih bersepeda. Rencana ini turut pula mendapatkan dukungan penuh dari Serikat Sepeda Denmark dan perusahaan layanan kereta api, DSB. Salah satu hal yang akan diperbaiki adalah lebih mempermudah pengguna sepeda yang akan mengkombinasi transportasinya dengan kereta api. Menteri Transportasi Denmakr, Lars Barfoed mengatakan, tidak semua komuter bisa bersepeda langsung dari stasiun ke tempat kerja,  karena masih kesulitan membawa sepedanya ke atas kereta api. Padahal, tak sedikit juga warga yang sudah melakukannya, membawa naik sepedanya ke atas kereta api dan kembali melanjutkan bersepeda ke tempat tujuan.

Bersepeda? Kami Suka!
Nah, ini beberapa cerita dari sejumlah warga Kopenhagen yang sempat saya jumpai disela perjalanan mengikuti KTT Perubahan Iklim awal Desember lalu. Mereka berbagi kisah tentang sepeda dan kesenangannya akan kendaraan tanpa bahan bakar itu. Signe, salah satunya. Ia menuturkan, pilihan bersepeda dilakukannya secara sadar. Tak ada paksaan, melainkan sudah menjadi sebuah kesenangan. Kebiasaan bersepeda, sudah dilakoninya sejak kanak-kanak. Kata Signe, hal itu sudah membudaya di tengah masyarakat Denmark. Ia sendiri, sebelumnya menjalani masa kecil di sebuah daerah pinggiran Kopenhagen.
“Kampung halaman saya berjarak sekitar 2-3 jam dari Kopenhagen. Kalau disana, Anda akan menjumpai orang lebih banyak lagi bersepeda, karena hanya kota kecil. Setiap orang di keluarga pasti punya sepeda sendiri. Bersepeda sudah menjadi budaya kami,” kata Signe saat dicegat ditengah perjalanannya menuju tempat bekerja.
Sejak kecil hingga saat ini, Signe mengaku selalu mengendarai sepeda. “Saya tidak punya mobil, tapi saya punya empat sepeda di rumah,” kata Signe sambil tertawa.
Selain karena alasan peduli lingkungan, wanita yang terlihat energik dengan perlengkapan bersepedanya ini mengaku, merasa lebih sehat. Bersepeda, menurutnya merupakan bagian dari berolahraga. “Jarak rumah ke tempat kerja hanya setengah jam jika saya tempuh dengan bersepeda. Bayangkan kalau saya naik kereta atau bus, atau bahkan kendaraan pribadi pasti terasa lebih capek karena hanya duduk. Kalau naik sepeda, seluruh anggota tubuh bergerak, lebih sehat tentunya,” ujarnya dengan semangat.
Seorang mahasiswa, Karen juga punya kisah sendiri tentang sepedanya. Gadis manis ini menuturkan, sepeda pertama ia miliki kala berusia enam tahun. Dan sepeda itu masih tersimpan rapi di garasi rumahnya. Karen punya alasan sendiri mengapa masih menyimpannya hingga di usianya yang memasuki 18 tahun. “Bagi saya dan mungkin teman-teman yang lain, sepeda itu jadi bagian dari sejarah perjalanan hidup saya. Sepeda pertama saya hadiah ulang tahun dari orangtua dan masih saya simpan sampai sekarang. Banyak cerita yang saya buat dengan sepeda itu,” ujar Karen yang hingga kini masih memilih bersepeda dari rumah ke kampusnya.
Sebanyak 7 buah sepeda pernah dimiliki Karen, dengan yang dikendarainya saat ini. Para warga Kopenhagen, dikatakan Karen, biasanya memiliki lebih dari 2 sepeda per orang. Di keluarganya sendiri, seluruhnya memiliki sepeda masing-masing. “Mobil disimpan saja di garasi. Tetapi, Anda juga harus berhati-hati karena angka kehilangan sepeda juga cukup tinggi kalau tidak hati-hati. Sepeda sangat berharga disini,” katanya.
Beruntung, selama lebih dari 12 tahun memiliki berbagai macam sepeda, Karen tak pernah sekalipun kehilangan benda berharga itu. Nah, bagi warga yang tidak memiliki atau malas menbawa sepeda, di sejumlah tempat –biasanya tak jauh dari stasiun kereta api- tersedia tempat rental sepeda. Siapa saja bisa menyewanya dengan memberikan deposit sebesar 20 kroner (sekitar Rp40.000) dan bisa mendapatkan uang kembali setelah mengembalikan sepeda tersebut seusai digunakan. Asyik kan?
Bagi yang ingin memiliki sepeda, tak susah menemukan berbagai toko sepeda di Kopenhagen. Modelnya pun unik-unik. Tinggal pilih dan sesuaikan dengan kondisi keuangan! Menariknya lagi, ada cara mudah mendapatkan sepeda dengan harga murah disana, yaitu membeli sepeda yang dilelang oleh polisi. Lho kok? Penasaran?
(bersambung)
http://travel.kompas.com/read/xml/2009/12/24/06322632/bersepeda.di.negeri.hans.christian.andersen.2

Cerita "Cykling" di Negeri Hans Christian Andersen (1)

Cerita “Little Mermaid” karangan Hans Christian Andersen telah menjadi ikon salah satu negara dari rumpun Skandinavia, Denmark. Kini, Denmark punya ikon dan cerita baru. Cerita tentang “cykling” (bersepeda) yang bisa dijumpai di segala penjuru kota. Cerita “cykling” kali ini hadir dari Kopenhagen. Pilihan bertransportasi yang sudah membudaya di ibukota negara berpenduduk sekitar 5 juta jiwa itu...





Siapa saja yang pernah mengunjungi kota di Eropa, pasti sudah biasa menemukan fenomena bersepeda, sebagai salah satu pilihan transportasi yang sudah membudaya. Termasuk di Kopenhagen, Denmark. Dalam sebuah penelitian tahun 2007, Kopenhagen masuk dalam jajaran 11 kota sepeda terbaik di dunia. Kota ini menduduki peringkat ketiga dibawah Amsterdam (Belanda) dan Portland, Oregon (Amerika Serikat). Menurut seorang arsitek, Jan Gehl, Denmark memang mengalami perkembangan dan perubahan kultur yang sangat signifikan dalam berkendara. Keinginan pemerintah mengajak masyarakatnya beralih ke transportasi umum dan ramah lingkungan membuahkan hasil. Salah satu hal yang  mendukung keberhasilan tersebut adalah kesiapan infrastruktur yang membuat masyarakat merasa aman dan nyaman.
Menilik sejarah persepedaan di Denmark, ternyata punya latar belakang cerita yang cukup menarik. Dari riset kecil-kecilan, saya menemukan informasi bahwa dalam 1,5 abad, budaya bersepeda di Denmark terus mengalami perkembangan dan semakin populer di kalangan masyarakat. Pada tahun 1890, ada sekitar 3000 sepeda di Kopenhagen (www.cycling-embassy.dk). Jumlah ini meningkat pada tahun 1900 menjadi 30.000 sepeda. Tujuh tahun kemudian menjadi 80.000 dan terus meningkat hingga 400.000 sepeda di Kopenhagen pada tahun 1934.
Federasi Sepeda Denmark yang dibentuk pada tahun 1905 merupakan organisasi sepeda tertua di Eropa dengan tujuan utama membuat pengambil kebijakan memberikan kondisi yang lebih baik bagi para pengguna sepeda. Tidak sampai 5 tahun, sudah ada peraturan yang diperkenalkan di kepolisian Kopenhagen. Pada tahun 1923, aturan mengenai Aturan Berkendara disetujui di parlemen. Pada tahun 1920-1930an, sepeda dan trem mendominasi jalanan di sejumlah kota besar dan semakin berkembang. Pada saat yang bersamaan, sepeda menjadi semakin populer dan menjadi alat transportasi yang diminati.
Selama masa pendudukan Jerman atas Denmark pada tahun 1940-1945, terbatasnya ketersediaan bahan bakar membuat sepeda menjadi alat transportasi yang paling diandalkan. Hal ini terus berlanjut sampai pertengahan tahun 1950-an, ketika akhirnya pengguna mobil mengalami pertumbuhan pesat. Peningkatan penggunaan mobil membuat berkurangnya pengguna sepeda secara signifikan hingga pertengahan tahun 1970. Kendati pengguna sepeda berkurang, sepertiga dari orang dewasa pada masa itu masih bertahan menggunakan kendaraan tenaga angin itu secara teratur.
Krisis energi pada tahun 1970-an dan meningkatnya kepedulian pada lingkungan menjadi faktor utama adanya transformasi transportasi dari mobil ke sepeda dan transportasi publik. Didukung pula dengan adanya peningkatan fasilitas dan infrastruktur bagi para pengguna sepeda. Dari tahun 1982 hingga 2001, anggaran negara dialokasikan untuk mendanai pembangunan jalur dan infrastruktur sepeda bagi para penggunanya. Konsentrasi pendanaan untuk pos persepedaan ini mulai berkurang setelah tahun 2001.

Saat menyampaikan sambutan pada pembukaan konferensi perubahan iklim, 7 Desember 2009, Gubernur Kopenhagen, Ritt Bjerregard memasukkan unsur “cykling” sebagai salah satu upaya pemerintahannya menekan emisi 20 persen seperti yang ditargetkan untuk rentang waktu 2005-2015. Mengajak warga bersepeda diyakini bisa mengurangi angka emisi dari sektor transportasi. Ritt menyebutkan, 50 persen warga Kopenhagen telah beralih menggunakan sepeda sebagai pilihan utama bertransportasi. Bahkan, dalam pamflet promosi yang menyambut peserta COP15 disebutkan, diantara empat warga Kopenhagen, hanya satu yang memiliki mpbil. Apa yang diungkapkan Ritt, langsung bisa dijumpai kala kita berkeliling Kota Kopenhagen. Tak hanya di jalanan tetapi juga di dalam kereta api. Ia pun menargetkan, Kopenhagen menjadi ibukota negara pertama yang berpredikat “neutral carbon city” pada tahun 2015.

Pengendara Sepeda bak “Raja”

Di jalanan Kopenhagen, banyak dijumpai berbagai papan petunjuk bergambar sepeda. Entah itu menunjukkan jalur khusus sepeda, tempat parkir sepeda, tempat penitipan sepeda dan berbagai simbol lain yang memudahkan para pengguna sepeda. Berbagai kemudahan ini, mungkin bisa menjadi pertanda bahwa para pengguna sepeda menjadi “raja” di kota ini. Di tengah jalanan yang berukuran cukup besar, disisi kanan jalan masing-masing arah, terdapat jalur khusus sepeda. Di beberapa kawasan, jalur khusus sepeda dicat berwarna khusus. Seperti di kawasan Parliament Square, jalur khusus sepeda dicat berwarna biru. Di ujung jalan, biasanya dibuat gambar sepeda berukuran cukup besar. Maka, jangan takut disalip mobil kala bersepeda di kota ini.
Traffic light  bagi pengguna sepeda juga dipisahkan dengan lampu lalu lintas bagi pengendara mobil dan bus. Ada traffic light khusus yang bergambar sepeda di lampu paling atas, kemudian diikuti lampu hijau, kuning dan merah.
Parkir khusus sepeda juga merajai. Di setiap sisi jalan bagi pedestrian, pasti ada tempat parkir sepeda. Dan bisa dibilang, area parkir sepeda lebih penuh dibandingkan mobil yang parkir di pinggir jalan. Pemerintah setempat juga merancang berbagai macam kreasi parkir sepeda. Menarik untuk dicermati. Ada tempat khusus yang menjadi ruang bagi ban sepeda depan. Tujuannya, agar sepeda terparkir dengan rapi dan menghindari sepeda berjatuhan jika tersenggol satu sama lain. Pemandangan deretan sepeda yang terparkir pun menjadi salah satu objek yang menarik dan khas dari Kopenhagen.
Bagi para pengguna yang mengayuh sepedanya hanya sampai di stasiun, tak masalah. Di setiap stasiun kereta api, kita akan menjumpai tempat menyimpan sepeda yang disusun bertingkat. Saya sendiri tak terbayang, bagaimana menaikkan sepeda-sepeda itu atas dan menyusunnya secara rapi. Menurut informasi, penitipan sepeda itu gratis. Pastikan saja sepeda aman terkunci saat dititipkan. Tempat penitipan juga ada dua macam. Ada yang didalam dan diluar stasiun. Di luar stasiun, biasanya tepat di pelataran yang tak jauh di pintu keluar. Sedangkan yang didalam stasiun, biasanya ada tanda gambar sepeda yang dipasang di bagian pintu besinya. Letak ruangan ini berbeda di setiap stasiunnya. Sebagai gambaran, kereta api di Kopenhagen, khususnya S-Tog, terdapat di bawah tanah sehingga stasiun selalu terdiri dari beberapa lantai. Ruang penyimpanan sepeda, terdapat di lantai dua atau tiga. Tetapi, jangan khawatir bagaimana membawanya ke lantai atas. Di tangga pun tersedia jalur khusus yang memudahkan pemilik membawa atau menenteng sepedanya. Tak sedikit pula yang terlihat santai membawa sepedanya naik dengan menggunakan eskalator.
Tak sedikit pula yang membawa sepedanya naik ke atas kereta api. Jangan salah, di dalam kereta api pun, ada barisan kursi yang disediakan khusus untuk “memarkir” sepeda. Biasanya, di bagian bawah kursi ada semacam bahan dari karet yang dibuat berjarak hingga cukup untuk memasukkan ban sepeda dan tak menyebabkannya jatuh karena goncangan sepanjang jalan. Sang pemilik? Mereka bisa santai membaca buku hingga kereta mengantarkan ke stasiun tujuan, kemudian turun, menenteng sepeda dan gowes lagi!
Nah, ada banyak cerita menarik beberapa warga Kopenhagen tentang pilihannya menggunakan sepeda...
(bersambung)
http://travel.kompas.com/read/xml/2009/12/24/06120319/bersepeda.di.negeri.hans.christian.andersen.1

Recipe : Nasi Goreng Keju


Iseng yaa..siapa tau ada yang pecinta keju juga...silaken dicoba!! Resep didapet pas liputan seputar keju di Senayan...

Bahan :
100 gr nasi
1 sdm mentega
1 sdm bawang bombay cincang
1 siung bawang putih cincang
25 gr tauge panjang
1 butir telur ayam
sedikit garam
sedikit merica halus
1 sdt thai fish sauce (optional)
15 gr keju parut
15 gr ikan teri medan digoreng

Cara sreng-sreng :
1. Panaskan mentega dalam wajan, masukkan bawang bombay dan bawang putih, aduk
2. Masukkan tauge, aduk, pecahkan telur ayam, aduk, beri garam dan merica, aduk, beri thai fish sauce, aduk
3. Masukkan nasi dan keju parut, aduk, masukkan teri goreng, aduk rata, angkat.
4. Mudah tho?

Notes :
Aku juga belum  nyoba,...hehe...buat yang udah nyoba silakan berbagi cerita :p foto diunduh dari restodb.com ^_^

Wednesday, December 23, 2009

Benang Merah itu Selalu Ada...

Berpikir. Memahami setiap petilan hidup ini. Terangkai dengan sempurna. Tanpa cela. Karena Dia sutradaranya.


Memaknai hal-hal kecil dengan luar biasa. Luar biasa selalu bermula dari biasa.

Pertemuan biasa. Dengan orang tak dikenal sebelumnya. Tak ada makna apa-apa. Daripada diam seribu bahasa. Daripada tak ada kawan bicara.

Pertemuan menjadi luar biasa. Kala Dia hadirkan peristiwa lainnya. Membutuhkan dia yang tak dikenal sebelumnya. Kawan bicara daripada diam seribu bahasa. Aha! Ternyata ini benang merahnya.

Peristiwa biasa. Tak ada tangis, tak ada tawa. Biasa saja.

Peristiwa luar biasa. Saat melihat mereka menangis. Saat melihat mereka tertawa. Saat untuk berkaca. Saat untuk mensyukurinya. Aha! Ternyata ini benang merahnya. Hidup memang penuh makna. Lihat apa saja. Tak ada yang sia-sia.

Dia tak pernah hadirkan apapun tanpa makna. Rangkai semua. Jika hendak memaknainya. Dan semua menjadi sempurna. Tak ada sesuatu yang biasa. Karena Dia luar biasa.

Aku percaya.

*Mencoba merangkai benang merah dari semua peristiwa. Semua bermakna. Mensyukurinya*

2009 , Nov 8

...taken from "Inggried Dwi Wedhaswary"'s FB...