Search This Blog

Saturday, December 26, 2009

Cerita “Cykling” di Negeri Hans Christian Andersen (2)

Tak ada data pasti berapa jumlah sepeda yang “wira-wiri” di jalanan Kota Kopenhagen setiap harinya. Namun, sebuah alat penghitung yang ada di Jalan Frederiksborg, kawasan Norreport, Kopenhagen, mungkin bisa menjadi acuan. Menurut seorang teman, kawasan ini merupakan kawasan strategis yang selalu dilintasi. Itulah salah satualasan mengapa alat itu dipasang di kawasan ini. Saya sempat melihat bagaimana alat tersebut bekerja. Alat itu ditempatkan di salah satu sisi jalan. Setiap satu sepeda melintas, maka angka yang ada di alat tersebut akan berubah dengan sendirinya. Ketika saya berada disana pukul 12.00, sepeda yang melintas sejak pergantian hari sudah lebih dari 2000 sepeda. Ini jumlah yang terbilang tak terlalu banyak, karena pada musim dingin jumlah pengendara sepeda biasanya memang menurun dan beralih menggunakan bus kota atau kereta api. Jika musim semi, jumlah pengendara sepeda bisa tiga kali lipat banyaknya. Bisa mencapai jutaan sepeda yang melintas. Berdasarkan data yang ada di alat penghitung itu, sejak 15 Juni 2009 hingga 13 Desember 2009 (pukul 12.00), pengguna sepeda yang melintas tercatat 2.195.497 orang.


Mesin penghitung sepeda di Frederiksborg, Kopenhagen (foto : Inggried/Kompas.com)
Meski infrastruktur sudah memadai, pemerintah Denmark masih terus berupaya menggenjot anggaran demi peningkatan fasilitas bersepeda. Tujuannya, meningkatkan jumlah pengguna sepeda dari hari ke hari. Untuk itu, pemerintah Denmark sudah merencanakan anggaran sebesar 2 miliar Kroner pada tahun 2010 untuk peningkatan tersebut. Peremajaan dan memperbaiki fasilitas diyakini akan mempersuasi warga memilih bersepeda. Rencana ini turut pula mendapatkan dukungan penuh dari Serikat Sepeda Denmark dan perusahaan layanan kereta api, DSB. Salah satu hal yang akan diperbaiki adalah lebih mempermudah pengguna sepeda yang akan mengkombinasi transportasinya dengan kereta api. Menteri Transportasi Denmakr, Lars Barfoed mengatakan, tidak semua komuter bisa bersepeda langsung dari stasiun ke tempat kerja,  karena masih kesulitan membawa sepedanya ke atas kereta api. Padahal, tak sedikit juga warga yang sudah melakukannya, membawa naik sepedanya ke atas kereta api dan kembali melanjutkan bersepeda ke tempat tujuan.

Bersepeda? Kami Suka!
Nah, ini beberapa cerita dari sejumlah warga Kopenhagen yang sempat saya jumpai disela perjalanan mengikuti KTT Perubahan Iklim awal Desember lalu. Mereka berbagi kisah tentang sepeda dan kesenangannya akan kendaraan tanpa bahan bakar itu. Signe, salah satunya. Ia menuturkan, pilihan bersepeda dilakukannya secara sadar. Tak ada paksaan, melainkan sudah menjadi sebuah kesenangan. Kebiasaan bersepeda, sudah dilakoninya sejak kanak-kanak. Kata Signe, hal itu sudah membudaya di tengah masyarakat Denmark. Ia sendiri, sebelumnya menjalani masa kecil di sebuah daerah pinggiran Kopenhagen.
“Kampung halaman saya berjarak sekitar 2-3 jam dari Kopenhagen. Kalau disana, Anda akan menjumpai orang lebih banyak lagi bersepeda, karena hanya kota kecil. Setiap orang di keluarga pasti punya sepeda sendiri. Bersepeda sudah menjadi budaya kami,” kata Signe saat dicegat ditengah perjalanannya menuju tempat bekerja.
Sejak kecil hingga saat ini, Signe mengaku selalu mengendarai sepeda. “Saya tidak punya mobil, tapi saya punya empat sepeda di rumah,” kata Signe sambil tertawa.
Selain karena alasan peduli lingkungan, wanita yang terlihat energik dengan perlengkapan bersepedanya ini mengaku, merasa lebih sehat. Bersepeda, menurutnya merupakan bagian dari berolahraga. “Jarak rumah ke tempat kerja hanya setengah jam jika saya tempuh dengan bersepeda. Bayangkan kalau saya naik kereta atau bus, atau bahkan kendaraan pribadi pasti terasa lebih capek karena hanya duduk. Kalau naik sepeda, seluruh anggota tubuh bergerak, lebih sehat tentunya,” ujarnya dengan semangat.
Seorang mahasiswa, Karen juga punya kisah sendiri tentang sepedanya. Gadis manis ini menuturkan, sepeda pertama ia miliki kala berusia enam tahun. Dan sepeda itu masih tersimpan rapi di garasi rumahnya. Karen punya alasan sendiri mengapa masih menyimpannya hingga di usianya yang memasuki 18 tahun. “Bagi saya dan mungkin teman-teman yang lain, sepeda itu jadi bagian dari sejarah perjalanan hidup saya. Sepeda pertama saya hadiah ulang tahun dari orangtua dan masih saya simpan sampai sekarang. Banyak cerita yang saya buat dengan sepeda itu,” ujar Karen yang hingga kini masih memilih bersepeda dari rumah ke kampusnya.
Sebanyak 7 buah sepeda pernah dimiliki Karen, dengan yang dikendarainya saat ini. Para warga Kopenhagen, dikatakan Karen, biasanya memiliki lebih dari 2 sepeda per orang. Di keluarganya sendiri, seluruhnya memiliki sepeda masing-masing. “Mobil disimpan saja di garasi. Tetapi, Anda juga harus berhati-hati karena angka kehilangan sepeda juga cukup tinggi kalau tidak hati-hati. Sepeda sangat berharga disini,” katanya.
Beruntung, selama lebih dari 12 tahun memiliki berbagai macam sepeda, Karen tak pernah sekalipun kehilangan benda berharga itu. Nah, bagi warga yang tidak memiliki atau malas menbawa sepeda, di sejumlah tempat –biasanya tak jauh dari stasiun kereta api- tersedia tempat rental sepeda. Siapa saja bisa menyewanya dengan memberikan deposit sebesar 20 kroner (sekitar Rp40.000) dan bisa mendapatkan uang kembali setelah mengembalikan sepeda tersebut seusai digunakan. Asyik kan?
Bagi yang ingin memiliki sepeda, tak susah menemukan berbagai toko sepeda di Kopenhagen. Modelnya pun unik-unik. Tinggal pilih dan sesuaikan dengan kondisi keuangan! Menariknya lagi, ada cara mudah mendapatkan sepeda dengan harga murah disana, yaitu membeli sepeda yang dilelang oleh polisi. Lho kok? Penasaran?
(bersambung)
http://travel.kompas.com/read/xml/2009/12/24/06322632/bersepeda.di.negeri.hans.christian.andersen.2

No comments:

Post a Comment